Selasa, 27 September 2016

Makalah makiyyah dan madaniyah

MAKALAH
MAKIYAH DAN MADANIYAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu: Drs. Imam Syuhadi, M.Pd.






Disusun Oleh :
Finna Roudlotun Nasihah
Yolanda Fifiana Dwi Mukti

INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI
FAKULTAS TARBIYAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas kuliah Studi Al-Qur’an. Kami sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Studi Al-Qur’an, Drs. Imam Syuhadi, M.Pd.dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin.












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………….…..………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………....…………………… ii
BAB I…………………………………………………………….………….…..1
PENDAHULUAN……………………………….………...........…....................1
LATAR BELAKANG.….…....................................................................1
RUMUSAN MASALAH……….…....…………………....…......….......1
TUJUAN PENULISAN…………….…………………….....…..............1
MANFAAT PENULISAN………….………………………...............…2
BAB II……………………………………….………………….........….....……3
PEMBAHASAN…………………………….…………………........…...………3
PENGERTIAN MAKIYAH DAN MADANIYAH…................………..3
CARA MENGETAHUI  AYAT DAN SURAT MAKIYAH MADANIYYAH………………..….…...…...….……...........….........…..5
 KARAKTERISTIK MAKKIYAH DAN MADANIYYAH..…...............6
 MACAM-MACAM SURAT MAKIYAH DAN MADANIYAH…........8
 KEGUNAAN STUDI MAKKIYAH DAN MADANIYYAH.…............15
 BAB III …………………………………………………………………….…...17
PENUTUP………………………………………………………………….…….17
 KESIMPULAN……………………………………………………..…...17
 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..…..18 BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mempelajari Al-Qur’an merupakan hal wajib bagi umat Islam. Dalam mempelajari tentang Al-Qur’an tentu tidak akan terlepas dari mempelajari ilmu Al – Qur’an itu sendiri. Pengetahuan tentang sejarah ilmu Al-Qur’an tentu juga akan mencangkup pembahasan mengenai tahap-tahap Al-Qur’an itu diturunkan. Dalam kita mempelajari tentang tahap-tahap Al-Qur’an diturunkan, tentu akan membuat kita mengenal tentang “Makiyyah” dan “Madaniyyah”
Istilah makiyyah dan madaniyyah dalam Studi Al-Qur’an menjadi sangat penting untuk kita pelajari. Karena dengan mengetahui tentang makiyyah dan madaniyyah dalam Studi Al-Qur’an, maka secara tidak langsung kita dapat memperdalam ilmu tentang Al-Qur’an khususnya pada tahapan-tahapan Al-Qur’an diturunkan.
Oleh sebab itu, pada pembahasan makalah ini, kita akan membahas tentang makiyyah dan madaniyyah, mulai dari pengertian hingga manfaat yang kita dapatkan bila kita memahami lebih jauh tentang makiyyah dan madaniyyah.

B. RUMUSAN MASALAH
Apakah yang dimaksud dengan makiyyah dan madaniyyah dalam studi Al-Qur’an?
Bagaimana cara mengetahui ayat-ayat dan surat makiyyah dan madaniyyah?
Surat dan ayat apakah yang termasuk golongan makiyyah dan madaniyyah?
Apa karakteristik makiyyah dan madaniyyah?
Apakah kegunaan studi makiyyah dan madaniyyah dalam penafsiran Al-Qur’an?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui pengertian makiyyah dan madaniyyah.
Untuk mengetahui cara mengetahui surat dan ayat makiyyah dan madaniyyah.
Untuk mengetahui golongan surat dan ayat makiyyah dan madaniyyah.
Untuk mengetahui karakteristik makiyyah dan madaniyyah.
Untuk mengetahui kegunaan studi makiyyah dan madaniyyah.

D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan makalah ini yaitu selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an, penulis berharap dengan menulis kita dapat menambah kualitas keimanan kita, menambah wawasan dan semoga dapat bermanfaat di dunia dan akhirat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAKIYAH DAN MADANIYAH

Secara umum, makiyyah adalah ayat-ayat dan surat yang di turunkan sebelum Rosululloh hijrah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah istilah yang diberikan untuk ayat-ayat atau surat yang di turunkan di madinah atau diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif tersebut ialah:
Dari segi masa turunnya (tartib zamany). Ada yang berkata: “makki yang turun sebelum Rasul hijrah ke Madinah walaupun turunnya bukan di kota Makkah. Madani yang turun sesudah hijrah walaupun di Makkah”.
Dari segi tempat turunnya (tahdid makany). Ada yang berkata: “makki ialah yang turun di Makkah, walaupun sesudah hijrah. Dan madani ialah yang turun di Madinah”.
Dari segi topik/tema yang dibicarakan (tahwil maudhu’i). Ada yang berkata: “makki ialah yang menjadi khitbah (ditujukan) kepada penduduk Makkah dan madani ialah yang menjadi khitbah (ditujukan) bagi penduduk Madinah”.
Dari segi orang-orang yang dihadapinya (ta’yin syakhsyi).
Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut yang :
“Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyah walaupun turun di Mekkah atau di Arafah.”
Kelebihan teori ini adalah menurut para mufassir teori ini dianggap yang paling benar, sebab rumusannya mencakup seluruh ayat Alquran sehingga dapat dijadikan batasan/definisi. Sedangkan kelemahan teori ini adalah seringkali menyebabkan kejanggalan, sebab ayat yang nyata-nyata turun di Makkah dianggap Madaniyah hanya karena turunnya sesudah hijrah.
Dengan demikian, surat An-Nisa’ [4]:58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun diturunkan di Mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekah (Fath Makkah). Begitu pula, surat Al-Ma’idah [5]:3 termasuk kategori Madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di Madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.
Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminology di atas sebagai berikut yang :
“Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah, sedangakan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, quba’, dan Sul’a.”
Kelebihan teori ini adalah hasil rumusan pengertian Makki dan Madani jelas dan tegas. Kelemahan teori ini adalah tidak semua ayat turun di kedua tempat tersebut. Misalnya surat At-Taubah [9]:42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]:45  diturunkan di tengah perjalanan antara Mekah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam Makkiyah dan Madaniyyah.
Dari prospektif pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminology di atas sebagai berikut.
“Makiyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang Mekah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.”
Kelebihan teori ini adalah rumusannya lebih mudah dimengerti, sebab dengan memakai kriteria khitab (ditujukan) lebih cepat dikenal. Sedangkan kelemahan teori ini adalah pengertiannya tidak dapat dijadikan batasan/definisi karena tidak bisa mencakup seluruh ayat Alquran. Kriterianya juga tidak dapat berlaku secara menyeluruh.
Pendefinisian di atas di rumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an dimulai dengann ungkapan “ya ayyuha ala-naas” yang menjadi kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha Al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah. Namun tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-baqarah [2] misalnya, termasuk kategori Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan “yaa ayyuha An-nas”. Lagi pula, banyak ayat Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua ungkapan di atas.
Adapun pendefinisian Makkiyah dan Madaniyyah dar prespektif tema pembicaraan akan disinggung lebih terinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Kendatipun mengunggulkan pendefisian Makkiyyah dan Madaniyyah dari perspektif masa turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian. Pada ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lannjut dari tesis Shalih di atas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahana [60]. Bila dilihat dari prespektif tempat turun, surat itu termasuk Madaniyyah karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah. Akan tetapi, dalam prespektif pembicaraan, surat itu termasuk Makkiyyah karena menjadi khitab bagi orang-orang mekah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukkan surat itu ke dalam “Ma nuzila bi Al-Maidah wa hukmuhu Makki” (ayat-ayat yang diturunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Mekah).


B. CARA MENGETAHUI  AYAT DAN SURAT MAKIYAH MADANIYYAH
Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan.
Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan transmisi, para sarjana muslim merujuk kepada riwayat-riwayat valid yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunnya wahyu, atau para generasi tabiin yang saling berjumpa dan mendengarkan langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Qur’an, termasuk di dalamnya adalah informasi kronologis Al-Qur’an. Dalam kitab Al-Intishar, Abu Bakar bin Al-Baqilani lebih lanjut menjelaskan: “pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyyah hanya bisa dilakukan pada otoritas sahabat dan tabiin saja.” Informasi itu tidak ada yang datang dari Rasulullah karena memang ilmunya tentang itu bukan merupakan kewajiban umat.
Seperti halnya hadis-hadis Nabi telah terekam dalam kodifikasi-kodifikasi kitab hadis, para sarjana muslim pun telah merekam informasinya dari para sahabat dan tabiin tentang Makkiyah dan Madaniyyah dalam kitab-kitab tafsir bi Al-natsur, tulisan-tulisan tentang asbab An-Nuzul, pembahasan-pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an, dan jenis-jenis tulisan lainnya.
Otoritas para sahabat dan para tabiin dalam mengetahui informasi kronologi Al-Qur’an dapat dilihat dari statemen-statemennya. Dalam salah satu riwayat Al-Bukhari, Ibn Mas’ud, berkata : “Demi Dzat yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu pun dari kitab Allah yang turun, kecuali aku tahu untuk siapa dan di mana diturunkan. Seandainya aku tahu tempat orang yang lebih paham dariku tentang kitab Allah, pasti aku akan menjumpainya.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ibn Abas berkata, “terdapat dua puluh surat yang diturunkan di Madinah, sedangkan jumlah surat sisanya di Mekah.” As-Suyuthi menyediakan beberapa lembar dalam kitab Al-‘Itqan-nya untuk merekam riwayat-riwayat dari sahabat dan tabiin mengenai perangkat periwayatan dalam mengetahui kronologis Al-Qur’an.
Pendekatan Analogi (Qiyas)
Ketika melakukan kategorisasi Makkiyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim  penganut pendekatan analogi bertolak dari cirri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu. Dengan demikian, bila dalam surat Makkiyyah terdapat sebuah ayat yang memiliki ciri-ciri khusus Madaniyyah, ayat ini termasuk kategori ayat Madaniyyah. Tentu saja , para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang ditetapkan pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menatapkan tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai cirri khusus Makkiyah; tema faraid dan ketentuan had sebagai ciri khusus Madaniyyah.

C. KARAKTERISTIK MAKKIYAH DAN MADANIYYAH.
Seperti yang telah diuraikan di atas, para sarjana muslim telah berusaha merumuskan cirri-ciri spesifikasi. Makkiyah dan Madaniyyah dalam menguraikan kronologis Al-Quran. Mereka mengajukan dua titik tekan dalam usahanya itu, yaitu titik tekan analogi dan titik tekan tematis. Dari titik tekan pertama, mereka memformulasikan ciri-ciri khusus Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
Makkiyyah :
Di dalamnya terdapat ayat sajdah.
Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”
Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha an-nas”  dan tidak ada ayat yang di mulai dengan ungkapan “ya ayyuha Al-ladzina”, kecuali dalam surat Al-Hajj [22], karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha Al-ladzina”
Ayat-ayat mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali surat Al-Baqarah [2].
Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong (huruf at-tahajji) seperti alif lam mim dan sebagainya, kecuali surat Al-Baqarah [2] dan Ali ‘Imran [3].
Madaniyyah
Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had.
Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-Ankabut [29].
Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.
Berdasarkan titik tekan tematis, para ulama merumuskan cirri-ciri spesifikasi Makkiyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
Makkiyah :
Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabianm penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka dan siksanya, surge dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argumentasi-argumentasi rasional dan naqli
Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat. Juga berisikan celaan-celaan terhadap kriminalitas-kriminalitas yang dilakukan kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim serta uraian tentang hak-hak.
Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu serta perjuangan Muhammad dalam menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin
Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras.
Banyak mengandung kata-kata sumpah.
Madaniyyah :
Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihad, kehidupan social, aturan-aturan pemerintahan menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
Mengkhitabi ahli kitab Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan perbuatan meraka yang menyimpangkan kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya setelah datang kebenaran
Mengungkap langkah-langkah orang-orang munafik
Surat dan sebagian ayat-ayatnya penjang-panjang serta menjelaskan hukum denganterang danmenggunakan ushlub yang terang pula
Ciri-ciri spesifik yang dimiliki Madaniyyah, baik dilihat dari perspektif antalogi ataupun tematis, memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh islam dalam mensyariatkan peraturan-peraturannya, yaitu dengan cara periodic (hierarkis/tadarru).
Laporan-laporan sejarah telah membuktikan adanya sistem sosiokultural yang berbeda antara Mekah dan Madinah. Mekah dihuni kmunitas atheis yang keras kepala dengan aksinya yang selalu menghalangi dakwah Nabi dan para sahabatnya, sedangkan di Madinah setelah Nabi hijrah ke sana terdapat tiga komunitas muslim yang terdiri kelompok Muhajirin dan Anshar, komunitas munafik, dan komunitas Yahudi. Al-Qur’an menyadari benar perbedaan sosio-kultural antara kedua tempat itu. Oleh karena itu, alur pembicaraan ayat yang diturunkan bagi penghni Mekah sangat berbeda dengan alur yang diturunakn bagi penduduk Madaniyah.

D. MACAM-MACAM SURAT MAKIYAH DAN MADANIYAH
Menurut edisi standart Mesir, 86 surat termasuk dalam periode Mekah, sementara 28 surat lainnya berasal dari periode Madinah. Dasar dari determinasi kronologis ini adalah permulaan surat. Sebuah surat, misalnya, dianggap dari Mekah jika ayat-ayat awalnya diturunkan di Mekah, meskipun berisi juga ayat-ayat yang diturunkan di Madinah. Terkadang, ada juga perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai apakah surat ini termasuk Makkiyyah dan Madaniyyah. Tidaklah mengejutkan jika prinsip klasifikasi yang diterapkan kaum muslimin menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Perbedaan kesimpulan ini lebih banyak ditemukan jika dibandingkan dengan yang disimpulkan oleh para sarjana Barat.
Dalam pandangan para sarjana muslim, pijakan pertama untuk mengklasifikasikan bagian ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadis dan pernyataan-pernyataan para mufassir belakangan. Meskipun tampak member perhatian pada bukti-bukti internal, para sarjana muslim  yang mula-mula jarang menggunakannya secara eksplisit dalam argumentasi-argumentasinya. Hadis-hadis yang dipermasalahkan di sini biasanya kurang lebih bermakna bahwa suatu bagian Al-Qur’an tertentu diwahyukan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Jadi, surat ‘Abasa [80]: 1-10 dikatakan diwahyukan ketika seorang buta bernama Abdullah bin Umm Msktum menemui Muhammad takkala beliau berbincang-bincang dengan beberapa pembesar Quraisy yang diharapkan dapat membujuknya. Sebuah sontoh tentang susunan kronologi revelasi (pewahyuan) Al-Qur’an yang ditulis seorang sarjana klasik, bisa disebutkan disini, dari Ibn Nazhim dalam  Al-Fihrists yang memiliki klasifikasi penentuan surat-surat Makkiyah dari Nu’man Ibn Bashir:

















Para sarjana muslim pun sepakat bahwa ayat-ayat yang diturunkan di Madinah bisa saja merupakan bagian dari surat yang dirancang sebagai surat Makkiyah (menurut prinsip permulaan di atas), atau sebaliknya.
Contoh lainnya adalah kronologi revelasi yang ditulis Abu Al-Qasim Al-Naisaburi yang mengikuti sistem penanggalan Al-Qur’ann berdasarkan sejarah dan masa turunnya (manhaj tarikhy zamany). Ia membagi kronologi Al-Qur’am dalam tiga tahap. Pertama, tahap permulaan (marhalah ibtida’iyah):
Surat Al-‘Alaq [96]
Surat Al-Mudatstsir [74]
Surat At-Takwir [81]
Surat Al-A’la [87]
Surat Al-Lail [92]
Surat Al-Insyirah [94]
Surat Al-‘Adiyah [100]
Surat At-Takasur [102]
Surat An-Najm [53]
Kedua tahap pertengahan (marhalah mutawasithah). Di antara surat-surat yang turun salam tahap pertengahan Mekkah adalah:
Surat ‘Abasa [80]
Surat Ath-Thin [95]
Surat Al-Qari’ah [101]
Surat Al-Qiyammah [75]
Surat Al-Mursalat [77]
Surat Al-Balad [90]
Surat Al-Hijr [15]
Ketiga, tahap akhir ( marhalah khatamiyah). Di antara surat-surat yang turun dalam tahap akhir di Mekah adalah:
Surat Ash-Shaffat [37]
Surat Az-Zukhruf [43]
Surat Ad-Dukhan [44]
Surat Adz-Dzariyyat [51]
Surat Al-Kahfi [18]
Surat Ibrahim [14]
Surat As-Sajdah [32]
Sistem penanggalan Makkiyah dan Madaniyyah yang telah dikemukakan seperti terlihat diatas, didasarkan pada tida asumsi; pertama, surat-surat Al-Qur’an yang ada sekarang ini merupakan unit-unit wahyu orisinal. Kedua, adalah memungkinkan untuk menetapkan tatanan kronologisnya. Ketiga, bahan-bahan tradisional termasuk literature hadis, sirah (sejarah), asbab An-Nuzul, nasikh-mansukh, serta kitab-kitab tafsir bi Al-ma’tsur telah menyediakan suatu basis yang kukuh untuk penanggalan surat-surat Al-Qur’an yang lebih menitik beratkan sistem penanggalannya kepada perkembangan atau peralihan tema dan bagian-bagian individual sebagai unit wahyu orisinil.
Semua upaya modern yang ditujukan pada penyusunan periodisasi sejarah Al-Qur’an berpangkal dari karya pioneer yang ditulis oleh seorang sarjana Jerman bernama Theodore Noldeke (studi Orisinil Noldake, Geschihte des Qur’ans), yang pertama kali terbit pada tahun 1860. Edisi keduanya yang telah direvisi dan deperluaskan oleh muridnya, Schwally, dan kemudian oleh Begstrasser dan Pretzel ditebitkan secara berturut-turut pada tahum 1909,1982, edisi salinan ketiga volume tersebut terakhir diterbitkan oleh Hildesheim pada tahun 1961.
Noldeke membagi triparti dari surat-surat Mekah ke dalam periode awal, mengengah, dan akhir, suatu standar bagi sarjana-sarjana yang kemudian. Meskipun dia tidak pernah mengklaim bahwa adalah mungkin untuk menetapkan kronologi menyeluruh atas semua teks Al-Qur’an dengan kepastian yang tidak bisa dipertanggung jawabkan (tujuan noldeke adalah menetapkan kolerasi yang tepat antara relevansi Al-Qur’an dengan framework biografis sirah). Namun, usaha-usaha yang belakangan, terutama yang dilakkukan Richard Bell, berupaya menyelesaikan tugas tersebut denganmenyerahkan semua energinya untuk menyusun seluruh kronologis teks Al-Qur’an sampai sekecil-kecilnya. Hasilnya, karyanya itu sungguh-sungguh sangat ekstrensik. Ia lebih mencerminkan karya dari sosok patologis dari seorang misionaris Scot ketimbang karya mengenai susunan kronologis revelasi Al-Qur’an. Meskipun banyak sarjana muslim sering menganggap usaha-usaha para sarjana Barat semacam itu tidak ilmiah (prinsip penentuan turunnya ayat dalam matriks biografis sirah, menurut pendapat mereka, bukanlah merupakan serangan ideologis terhadap kitab suci), kecil kemungkinan bisa dihasilkannya suatu karya yang lebih dari sekedar generalisasi kasar atau umum, bahkan melalui metode-metode modern terbaik sekalipun.
Inilah klasifikasi surat-surat Al-Qur’an sebagaimana diajukan Noldeke:
Periode Mekah I : surat Al-‘Alaq [96], Surat Al-Mudatstsir [74], Surat Al-Lahab [111], surat Al-Kautsar [108], surat Al-Humazah [104], surat Al-Ma’un [107], surat At-Takwir [102], aurat Al-Fill [105], surat Al-Lail [92], Surat Al-Balad [90], surat Al-Insyirah [94], Surat Ad-Dhuha [93], Surat Al-Qadar [97], Surat Ath-Tariq [86], Surat Asy-Syams [91], Surat ‘abasa [80], Surat Al-Qalam [68], Surat Al-A’la [87], Surat AT-Tiin [95], Surat Al-‘Ashr [103], surat At-Tariq [85], Surat Al-Muzammil [73], Surat Al-Qari’ah [101], Surat Az-Zalzalah [99], Surat Al-Infithar [82], Surat At-Takwir [81], Surat An-Najm [53], Surat Al-Insyiqaq [844], Surat Al-‘Adiyah [100], Surat An-Nazi’at [79],Surat Al-Mursalat [77], Surat An-Naba’ [78], Surat Al-Ghasyiyah [88], Surah Al-Fajr [89], Surat Al-Qiyamah [75], Surat Al-Muthaffifin [83], Surat Al-Haqqah [69], Surat Adz-Dzariyyat [51], Surat Ath-Thur [52], Surat Al-Waqi'ah [56], Surat Al-Ma'arij [70], Surat Ar-Rahman [55], Surat Al-Ikhlash [112], Surat Al-Kafirun [109], Surat Al-Falaq [113], Surat An-Nas [114], surat Al-Fatihah [1].
Periode Mekah II : Surat Al-Qamar [54], Surat Ash-Shaffat [37], Surat Nuh [71], surat Al-lnsan [76], Surat Ad-Dukhan [44], Surat Qaf [50], Surat Thaha [20], Surat Asy-Syura [26], Surat Al-Hijr [15], Surat Maryam [19], Surat Shad [38], Surat Yaa Siin [36], Surat Az-Zukhruf [43], Surat Al-Jin [72], Surat Al-Mulk [67], Surat Al-Mu'minun [23], Surat Al-Anbiya' [21], Surat Al-Furqan [25], Surat Al-lsra' [17], Surat An-Naml [27], Surat Al-Kahfi [18].
Periode Mekah III : Surat As-sajdah [32], Surat Fushshilat [41], Surat Al-Jatsiyyah [45], Surat An-Nahl [16], Surat Ar-Rum [30], Surat Hud [11], Surat Ibrahim [14], Surat Yusuf [12], Surat Al-Mu'min [40], Surat Al-Qashshash [28], Surat Az-Zumar [39], Surat Al-Ankabut [29], Surat Luqman [31], Surat Asy-Syura [42], Surat Yunus [10], Surat Saba' [34], Surat Fathir [35], Surat Al-A'raf [7], Surat Al-Ahqaf [46], Surat Al-An'am [6], Surat Ar-Ra'd [13].
Periode Madinah : Surat Al-Baqarah [2], Surat Al-Bayyinah [98], Surat At-Taghabun [64], Surat Al-Jumu'ah [62], Surat Al-Anfal [8], Surat Muhammad [47], Surat Ali ‘Imran [3], Surat Ash-Shaff [61], Surat Al-Hadid [57], Surat An-Nisa' [4], Surat Ath-Thalaq [85], Surat Al-Hasyr [59], Surat Al-Ahzab [33], Surat Al- Munafiqun [63], Surat An-Nur [24], Surat Al-Mujadalah [58], Surat Al-Hajj [22], Surat Al-Fath [48], Surat At-Tahrim [66], Surat Al-Mumtahanah [60], Surat An-Nashr [110], Surat Al-Hujurat [49], Surat Yunus [10], Surat Al-Ma'idah [5].
Sebenarnya, sistem penanggalan empat periode Noldeke di atas, dipengaruhi sistem penanggalan yang dirumuskan Gustav Weil. Weil dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan kajian penanggalan Al-Qur’an dan pendiri madzhab penanggalan empat periode, lewat karya monumentalnya, Histoisch-kristisch Einteitung in der Koran (1844, 1878). Ia menerima teori sarjana muslim bahwa surat-surat Al-Qur’an merupakan unit-unit dari wahyu, sehingga dapat disusun dalam suatu tatanan kronologis dengan berpijak kepada hadis-hadis. Akan tetapi, ia berbeda dengan sarjana muslim ketika membagi surat-surat Makkiyyah ke dalam tiga periode. Periode pertama (awal), kedua (tengah), dan periode ketiga (akhir). Sementara periode Madinah tetap diterimanya.
Titik pembabakan penanggalan empat periode di atas adalah masa Nabi hijrah ke Abesina (± 615 M), waktu kembalinya Nabi dari Tha'if (± 620 M) dan perisitiwa hijrah ke Madinah (± 622 M). Weil juga memperkenalkan tiga kriteria penyusunan kronologis surat-surat Al-Qur’an :
Rujukan pada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari sumber-sumber lainnya;
Karakter wahyu-wahyu sebagai refleksi dan perubahan-perubahan situasi dan peran Muhammad SAW; dan
Penampakan luaran atau bentuk wahyu. Sistem penanggalan empat periode Weil, asumsinya tentang Al-Qur’an dan kriteria tentang penanggalannya, kemudian mempengaruhi dan diikuti oleh sarjana-sarjana Barat.
Susunan kronologis surat-surat Al-Qur’an versi Weil adalah sebagai berikut :
Periode Mekah I  : Surat Al-'Alaq [96], Surat Al-Mudatstsir [74], Surat Al- Muzammil [73], Surat Al-Quraisy [106], Surat Al-Lahab [111], Surat An-Najm [53], Surat At-Takwir [81], Surat Al-Qalam [68], Surat Al-A'la [87], Surat Al-Lail [92], Surat Al-Fajr [89], Surat Al-'Alaq [96], Surat Al-Insyirah [94], Surat Al-‘Ashr [103], Surat Al-'Adiyah [100], Surat Al-Kautsar [108], Surat At-Takwir [102], Surat Al-Ma'un [107], Surat Al-Kafirun [109], Surat Al-Fil [105], Surat At-Falaq [113], Surat An-Nas [114], Surat Al-Ikhlash [112], Surat ‘Abasa [90], Surat Al-Qadar [97], Surat Asy-Syams [91], Surat Ath-Thariq [85], Surat Al-Balad [90], Surat Ath-Thin [95], Surat Al-Qari'ah [101], Surat Al-Qiyamah [75], Surat Al-Humazah [104], Surat Al-Mursalat [77], Surat Ath-Thariq [86], Surat Al-Ma’arij [70], Surat An-Naba' [78], Surat An-Nazi’at [79], Surat Al-Infithar [82], Surat Al-Waqi'ah [56], Surat Al-Ghasyiyah [88], Surat Ath-Thur [52], Surat Al-Haqqah [69], Surat Al-Muthaffifin [93], Surat Az-Zalzalah [99].
Periode Mekah II : Surat Al-Fatihah [1], Surat Adz-Dzariyyat [51], Surat Yaa Siin [36], Surat Qaf [50], Sur:at Al-Qamar [54], Surat Maryam [19], Surat Thaha [20], Surat Al-Anbiya' [21], Surat Al-Mu'minun [23], Surat Al-Furqan [25], Surat Asy-Syu’ara [26], Surat Al-Mulk [67], Surat Ash-Shaffat [37], Surat Shad [38], Surat Az-Zukhruf [43], Surat Nuh [71], Surat Ar-Rahman [55], Surat Al-Hijr [15], Surat Al-lnsan [76].
Periode Mekah III : Surat Al-A'raf [7], Surat Al-Jin [72], Surat Fathir [35], Surat An-Nam [27], Surat Al-Qashshash [28], Surat Al-lsra [17], Surat Yunus [10], Surat Hud [11], Surat Yusuf [12], Surat Al-An'am [6], Surat Luqman [31], Surat Saba' [34], Surat Az-Zumar [39], Surat Al-Mu'min [40], Surat As-Sajdah [32], Surat Asy-Syu’ara [42], Surat Al-Jatsiyyah [45], Surat Al-Ahqaf [46], Surat Al-Kahfi [18], Surat An-Nahl [16], Surat Ibrahim [14], Surat Fushshilat [41], Surat Ar-Rum [30], Surat Al-Ankabut [29], Surat Ar-Ra'd [13], Surat At-Taghabun [64].
Periode Madinah : Surat Al-Baqarah [2], Surat Al-Bayyinah [98], Surat At- Taghabun [64], Surat Al-Jumu'ah [62], Surat Al-Anfal [8], Surat Muhammad [47], Surat Ali-'Imran [3], Surat Al-Hasyr [59], Surat An-Nur [24], Surat Al-Munafiqun [63], Surat Al-Ahzab [33], Surat Al-Fath [48], Surat An-Nashr [110], Surat Ash-Shaff [61], Surat Al-Mumtahanah [60], Surat Al-Mujadalah [58], Surat Al-Hujurat [49], Surat At-Tahrim [66], Surat Yunus [10], Surat Al-Ma'idah [5].
Jika dilakukan perbandingan antara kronologis Weil dan Noldeke, terlihat bahwa surat-surat Al-Qur’an yang dimasukkan Weil ke dalam periode Mekah pertama (awal) seluruhnya diterima Noldeke dengan tambahan tiga surat lainnya (surat Al-Fatihah [1], Surat Adz-Dzariyyat [51] dan Surat Ar-Rahman [55]. Demikian pula, dalam periode-periode selanjutnya, hanya terlihat sedikit perbedaan antara kedua sarjana tersebut.

E. KEGUNAAN STUDI MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
An-Naisaburi, dalam kitabnya At-Tanbih 'ala Fadhl 'Ulum Al-Quran, memandang subjek Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai ilmu Al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Manna' Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskipsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut.
1.      Membantu dalam Menafsirkan Al-Quran
Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan bukan kekhususan. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.
2.      Pedoman bagi Langkah-langkah Dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Disamping itu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyyah dan Madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
3.      Memberi Informasi tentang Sirah Kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah atau di Madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya tidak bisa diragukan lagi.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Makkiyah adalah keseluruhan surat-surat dalam Al-Qur’an yang diturunkan di Kota Makkah, yakni pada masa Nabi Muhammad SAW bermukim di Makkah, yaitu selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, dari 17 Ramadhantahun 41 dari milad hingga Rabi’ul Awal tahun 54 dari Milad Nabi Muhammad SAW.
Sementara Madaniyah adalah semua surat-surat dalam Al-Qur’an  yang diturunkan di Kota Madinah. Surat-surat yang masuk ke dalam surat Madaniyah adalah surat-surat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW sudah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari milad Nabi Muhammad SAW sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi atau tahun 10 Hiiriyah.
Banyak manfaat bila kita mengetahui ayat makkiyah dan madaniyah. Di antaranya kita dapat membedakan mana ayat Nasikh dan ayat Mansukh, mengetahui pensyairatkan hukum dan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, mempermudah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami pengertiannya, serta mempermudah dalam menghayati ayat-ayat Al-Qur’an dan menirunya dalam menyampaikan dakwah.


DAFTAR PUSTAKA

Http://id.m.wikipedia.org/wiki/madaniyah  diakses 18/09/2016 pukul 22.53 WIB.
Http://id.m.wikipedia.org/wiki/makkiyah  diakses 18/09/2016 pukul 23.06 WIB.
Prof.Dr.Rosihon Anwar,M.Ag.2012.Ulum Al-Quran.Bandung :CV.Pustaka Setia.
MAKALAH
AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DAN FIRQOH-FIRQOH LAINNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja
Dosen pengampu: Abdul khalim, M.Pd.I










Disusun Oleh :
istiqomah
Yolanda Fifiana Dwi Mukti
Nurul Hidayati
Zulfia

INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI
FAKULTAS TARBIYAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas kuliah Aswaja. Kami sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Aswaja, Abdul khalim, M.Pd.I. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin.











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…..……...........................................................….…............ i
DAFTAR ISI………………….......……………………………............................. ii
BAB I……………………………………………………………….…......…….... 1
PENDAHULUAN……………………………………………………..….....…… 1
LATAR BELANGKANG……………………………………….......…… 1
RUMUSAN MASALAH………………………………………….......…. 1
TUJUAN PENULISAN…………………………………………….......…2
MANFAAT  PENULISAN……………………………………………......2
BAB II………………………………………………………………………..…....3
PEMBAHASAN…………………………………………………………….......…3
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)……………………........3
FIRQOH-FIRQOH LAINNYA……………………………………….....…7
MU’TAZILAH……………………………………………………..7
KHAWARIJ……………………………………………………......9
MURJI’AH…………………………………………………….......10
SYI’AH……………………………………………………….........12
JABARIYAH……………………………………………………....14
QODARIYAH………………………………………………....…...15
NAJARIYAH………………………………………………….…...17
MUSYABIHAH…………………………………………………....17
SALAFIYAH……………………………………………………....18
WAHABI…………………………………………………………..21
BAHAIYAH………………………………………………….........24
AHMADIYAH………………………………………………….....26
BAB III………………………………………………………………………….....28
PENUTUP……………………………………………………………………....…28
KESIMPULAN………………………………………………………........28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...29

 
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ahlussunnah Waljama’ah berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata ahlun  (keluarga/golongan) sunnah (perkataan, perbuatan, jalan, tabi’at, perilaku kehidupan) jama’ah (sekumpulan). Jadi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tiqad yang di anut oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabat beliau.
Di era modern ini banyak bermunculan aliran dan faham yang berbeda satu sama lain. Tiap-tiap faham mengklaim alirannyalah yang paling benar sementara aliran yang lain salah. Perbedaan dan perpecahan umat islam menjadi beberapa aliran ini telah menjadi Sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Dalam beberapa hadist yang benyak diriwayatkan para ahli hadist Rosulullah saw telah menjelaskan bahwa akan terjadinya perpecahan.
Pada zaman Rosulullah saw memang tidak pernah ada perpecahan diantara sahabat. Namun sebagai mukjizat, beliau telah mengetahui akan terjadinya perpecahan pada umatnya setelah beliau wafaat. Rosul juga telah menjelaskan bahwa di antara golongan (firqoh) yang akan bermunculan kelak, hanya satu golongan yang akan selamat yaitu Ahlussunnah Waljama’ah (orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran rosul dan para sahabat). Faktanya sekarang ini aliran yang muncul, semuanya mengaku atau mengklaim bahwa kelompoknyalah yang pantas di sebut Ahlussunnah Waljama’ah sedangkan kelompok lain sesat.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri golongan yang di janjikan Rosulullah agar kita selamat. Atas dasar inilah, kami membuat makalah ini dan membahas tentang Ahlussunnah Waljama’ah dan firqoh-firqoh lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
Apakah Ahlussunah Wal Jama’ah?
Apa sajakah firqoh-firqoh selain Ahlussunnah Wal Jama’ah?



C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui tentang Ahlussunah Wal Jama’ah.
Untuk mengetahui Ahlussunah Wal Jama’ah dan Firqoh-firqoh lainnya.

D. MANFAAT PENULISAN
Membantu mahasiswa memahami dan mendalami pokok bahasan khususnya tentang Ahlussunah Wal Jama’ah.
Memberikan informasi mendalam kepada mahasiswa tentang pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, sejarah singkat Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan Firqoh-firqoh lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN


AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PENGERTIAN ASWAJA
Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata yaitu ; Ahlun , As Sunah dan Al Jama’ah. Kata (Ahlun) berarti keluarga, golongan atau pengikut. Kata (As Sunnah) berarti Sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kata (Al Jama’ah) berarti kumpulan atau kelompok para Sahabat Nabi SAW (Jamaatus Shohabat).
Dari pengertian ketiga kata tersebut, maka yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok (golongan) yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rosul dan thoriqohnya Sahabat nabi yang tercermin dari semua aspek kehidupan yang meliputi : i’tiqod diniyah, amal badaniyyah dan akhlaq qolbiyah.
Sebenarnya istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ajaran sudah dikenal dan ada sejak Nabi Muhammad SAW, istilah tersebut mengandung arti ajaran islam yang murni sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama para Sahabatnya. Namun sesudah masa Sahabat Nabi SAW, Istilah (nama) Ahlussunnah Wal Jama’ah muncul dalam bentuk Firqoh (kelompok tertentu) untuk membedakan dari golongan-golongan ahli bid’ah seperti Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain.
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam bentuk Firqoh ini, muncul sekitar periode 300 Hijriyah yang dipelopori oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari yang mengikuti madzab imam Syafi’i dan Syekh Abu Mansur al Maturidi yang mengikuti madzab Imam abu Hanifah. Keduanya (Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi) telah mendapat dukungan dan pengakuan dari para pengikut imam empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal).
Dalam kitab Syarah Kawakibul Lama’ah, Syekh Abi Fadhol menjelaskan : Disaat perpecahan banyak terjadi (banyak bermuncualn aliran-aliran sesat) terlahirlah nama Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk mereka yang selalu konsisten menjalankan Sunnah-sunnah Nabi SAW dan para Sahabatnya dalam aqidah, amal badaniyah dan juga akhlaq qolbiyah.
Dengan demikian pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah ( dalam bentuk firqoh ) ini adalah nama yang khusus diperuntukkan bagi golongan yang aqidahnya selaras dengan Asy’ariyyah dan Al Maturidiyah. Hal ini berlaku hingga zaman sekarang ini. Hal ini senada dengan keterangan Al Alamah Syayyid Muhammad bin Muhammad Al Hasani (Syehk Zabidi) dalam Syarahnya kitab Ihya Ulumuddin :
“Apabila disebut kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (paham) Asyari dan paham Abu Mansur al Maturidi”
karena, Sepeninggalan Rosul dan para sahabatnya,disaat banyaknya aliran sesat bermunculan, kedua kelompok inilah (‘Al as’ariyyah dan Al Maturidiyyah’) yang selalu konsisten menjalankan sunnah-sunnah Rosul dan para Sahabat. Di samping itu kedua imam tersebut ( Syekh Abu Hasan al Asy’ari da Syekh Abu Mansur al Maturidi ) berusaha menggali aqidah islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, yakni Aqidah Islam yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada para sahabat, lalu kemudian diwariskan kepada Tabiin, Tabiit Tabiin dan para Ulama’ Salafus Solihin.
SEJARAH LAHIRNYA ASWAJA
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an hadits) daripada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifat.
Ajaran-ajaran Aswaja
Seseorang atau golongan bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah jika :
Dalam Aqidah mengikuti / selaras dengan teologi Al As’ari dan Al Maturidi.
Dalam Furu’ (Fiqh) mengikuti salah satu imam madzab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali).
Dalam bidang Ahlaq (Tasawuf) selaras dengan ajaran Imam Al Gozali dan al Junaidi al Bagdadi.
Pokok-pokok  Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :
Meyakini Wujudnya Allah.
Meyakini bahwa Allah Maha Esa (baik dzat, sifat maupun perbuatannya).
Meyakini terhadap sifat-sifat Allah (sifat wajib 20, sifat mustahil 20, sifat jaiz 1).
Meyakini kehudusan ( baru datangnya ) alam semesta.
Meyakini tentang keadilan dan hikmah Allah swt.
Meyakini tidak ada kemiripan ( keserupaan ) Allah dengan apapun.
Meyakini bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat ( Surga ), dengan mata kepala secara langsung, namun tidak diketahui caranya ( bila kaifin ).
Allah tidak wajib berbuat baik pada Makluk.
Allah adalah pencipta jagat raya ini, yang punya kehendak mutlak untuk melakukan apa saja pada mahluknya, tanpa ada keterpaksaan.
Meyakini kenabiyan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk semua umat (Kaffah).
Meyakini kebenaran semua perkara yang dibawa Rosul diantaranya ; Surga, Neraka, Wot Sirothol Mustaqim, Ars, kursi, Telaga Kausar, Bangkit dari kubur dan lain-lain.
Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, yang tidak akan mungkin ada Nabi setelahnya ( La Nabiya Ba’dahu ).
Meyakini bahwa Syareatnya Nabi Muhammad SAW akan langgeng sampai hari kiyamat tiba.
Meyakini bahwa orang Mu’min ketika melakukan dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka urusannya diserahkan pada Allah, mungkin diampuni atau akan disiksa dan dimasukkan ke neraka, namun ia tidak kekal di neraka. Dan ia termasuk golongan Orang Mu’min yang melakukan ma’siyat ( Mu’min Al Ashi).
Meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang Qodim (dahulu tanpa permulaan ).
Meyakini bahwa Al Qur’an dan Al Hadist harus didahulukan ( diatas ) akal manusia dan bukan sebaliknya.
Perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditakdirkan Allah, akan tetapi manusia diwajibkan melakukan ihtiyar memilih hal yang baik sebab dirinya telah diberi fasilitas akal.
Meyakini bahwa hari kiyamat ( hancurnya jagat raya ) pasti akan terjadi.
Meyakini bahwa anak kecil yang meninggal dunia sebelum usia balig meski anak orang kafir akan masuk surga.
Aqidah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut Al-Asy’ari yakni meliputi 6 perkara yang lebih dikenal sebagai rukun iman. Yaitu:
Masalah ketuhanan
Masalah Malaikat-malaikat
Masalah Kitab-Kitab Allah
Masalah Rasul-rasul Allah
Masalah Hari akhir
Masalah Qada’ dan Qadar.
B. FIRQOH-FIRQOH LAINNYA
1. FAHAM MU’TAZILAH
Definisi Mu’tazilah
Secara Etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab “Pitizal” artinya kesendirian, kelemahan dan keterputusan, menyisihkan diri.kaum Mu’tazillah berarti kaum yang menyisihkan diri.
Secara Terminologi, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
Golongan ini dinamakan Mu’tazilah, karena Washil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena perbedaan pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.

Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka maka, sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar.

Kesesatan Mu’tazilah
Di antara Kesesatan kaum Mu’tazilah :
Mentiadakan sifat-sifat Allah yang Qodim seperti ; Sifat Ilmu, Kudrot, Hayat dan lain-lain. Dan mereka meyakini bahwa Allah maha mengetahui, hidup, berkuasa semata-mata dengan dzat-Nya dan bukan dengan sifat.
Meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk yang berupa huruf dan suara.
Meyakini bahwa kelak di akhirat, Allah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Mewajibkan penta’wilan terhadap Ayat-Ayat Mustasyabihat (ayat yang belum jelas dilalahnya).
Meyakini bahwa segala perbuatan manusia berasal dari dirinya sendiri (baik atau buruk). Oleh karenanya di akhirat ia wajib mendapat pahala atau siksa akibat perbuatan tersebut.
Allah Wajib berbuat baik terhadap mahluknya, sebab jika tidak demikian maka berarti Allah telah berbuat dholim.
Meyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar yang meninggal sebelum bertaubat maka ia akan selama-lamanya ( hulud ) di neraka.
Mengingkari adanya siksa kubur.
Meyakini adanya tempat diantara Surga dan Neraka ( Manzilun Bainal Manzilataini ).
Dasar-dasar pokok Mu’tazilah berkisar pada 5 soal yaitu:
Tauhid (ke Esaan Tuhan)
Al ‘Adl (keadilan Tuhan)
Al Wa’du wal wa’du ( janji baik dan buruk)
Manzilah bainal manzilatein (tempat di antara dua tempat)
Amar ma’ruf dan nahi munkar

2. FAHAM KHOWARIJ
Definisi dan Sejarah Kemunculan Khowarij
Imam Syahrostani mendefinsikan khowarij sebagai, ”Semua kelompok masyarakat yang keluar daripada ketaatan kepada kepemimpinan (imam) yang sah dan yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam, baik pada masa kepemimpinan sahabat khulafaurrosyidin, tabi’in (pengikut sahabat), atau masa kepemimpinan umat Islam di setiap zaman.” (Syahrostani, Kitab Al Milal wan Nihal, 1/129).
Imam Ibnu Hazm menambahkan, “Setiap orang yang mendukung pikiran-pikiran mereka atau memiliki pikiran dan ideooogi seperti mereka juga disebut khowarij, kapanpun ia berada.” Jelas, khowarij tidak terbatas pada masa atau episode tertentu, tapi bisa jadi sepanjang sejarah anak Adam.
Mengenai awal kemunculan khowarij para pakar sejarah Islam berbeda pendapat, ada yang mengatakan, khowarij telah ada sejak zaman rasulullah saw yaitu si Dzul Khuwaisiroh yang tidak setuju terhadap pembagian ghonimah oleh rasulullah saw. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnul Jauziy dan Ibnu Hazm. Sebagian berpendapat, ia muncul pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Abil ‘Izz. Tetapi pendapat yang rojih adalah yang mengatakan kemunculan Khawarij pertama kali setelah peristiwa tahkim (dialog damai) sebagai upaya mencari jalan damai dalam mengakhiri peperangan Shiffin antara pihak Ali bin Abi Tholib ra, sebagai kholifah yang sah dengan pihak Mu’awwiyah ra.
Syaikh Muhammad Al Qursyi menyimpulkan pendapat para ulama mengenai sejarah khowarij, beliau berkata, “Dari sisi ide dan bibit pemikiran Khowarij telah muncul sejak zaman Nabi saw, yaitu pada kasus Dzul Khuwaishiroh. Jadi saat itu masih terbatas pada gejala pemikiran, belum berbentuk sebuah organisasi dan pergerakan. Khowarij menjelma menjadi organisasi pergerakan yang terpimpin baru muncul setelah peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awwiyah.” (Khowarij Aqidatan wat Tarikh, h. 2)

Kesesatan Khowarij
Di antara Kesesatan kelompok Khowarij :
Meyakini bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir , disamakan dengan kafirnya Iblis.
Meyakini bahwa seluruh sahabat yang setuju Tahkim ( penyelesaian dengan juru hukum ), dihukumi telah kafir sebab telah melakukan dosa besar. Sehingga mereka tidak mau menerima hadist-hadist yang diriwayatkan dari sahabat tersebut.
Menganggap kafir Sahabat Ali ra, Usman bin Affan, Tholhah, Zubair, Aisyah, Abdullah bin Abbas mereka telah menyetujui Tahkim.
Meyakini bahwa melakukan pemberontakan pada Imam ( Imam Ali Bin Abi Tholib ) yang melanggar Sunah hukumnya Wajib.
Memperbolehkan wujudnya Nabi meskipun akhirnya ia menjadi kafir di tengah-tengah masa kenabian.
Menafikan Hukum Ranjam bagi pelaku Zina Muhshon.
3. FAHAM  MURJI’AH
Asal-Usul Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya diakhirat kelak.
Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Mazhab) para skeptis dan empirin dari kalangan Helenis.
Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam keadaan akidah tauhid.
4. FAHAM  SYI’AH
Definisi Syi’ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Keyakinan Syiah
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
 Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan
I’tikad Syiah tentang kenabian ialah :
Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
Aqidah kaum syi’ah antara lain :
Ketiga sahabat sebelum Ali kw. Yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman, ketiganya itu terkutuk, karena merampas hak khalifah dari tangan Syayidina Ali k.w. imam yang pertama ialah Sayidina Ali k.w
Imam harus ditunjuk Nabi Muhammad saw. Dengan wasiat.
Khalifah Ali k.w. menerima wahyu dan ma’sum
Kitab kedua ialah Al-kafi karangan Al-Kulni.
Percaya adanya khalifah ghaib yang akan muncul di akhir zaman.
Mushaf yang sah ialah Mushaf Ali.
Arti ahli bai, ialah hanya keturunan Ali dengan Fathimah r.a.
Kaum syi’ah menganut faham wihdatul wujud (serba Tuhan).
Islam belum cukup ketika zaman Nabi, karena masih ada wahyu-wahyu Allah untuk Imam-imam Syi’ah.
Percaya kepada imam merupakan salah satu rukun Iman.

5. FAHAM JABARIYAH
Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’, artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan).
Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.
Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.
Pokok- pokok paham Jabariyah
Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya : “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.
6.  FAHAM QODARIYAH
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar.
Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).
Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah.
Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.
Faham Qadariyah di antara I’tiqadnya adalah:
Manusia berkuasa penuh menciptakan amalnya, maka dalam amal perbuatan manusia tak ada campur tangan dari kekuasaan lain, termasuk tak ada campur tangan kekuasaan Tuhan.
Iman itu pengertian dan pengakuan, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah.

7.  FAHAM NAJARIYAH
Pembangun madzhab Najariyah ini adalah seorang yang bernama Abu Abdillah Husein bin Muhammad an Najar.
Abu Abdillah an Najar ini hidup pada masa Khalifah al Ma’mun sekitar tahun 198 H sampai 218 H. ia pada mulanya murid seorang Mu’tazilah namananya Basyar al Marisi, tetapi kemudian ia menjadi bajing loncat, sekali menganut paham Mu’tazilah, besok paham Jabariyah, lusa mengnut paham Ahlussunnah dan akhirnya membuat Madzhab sendiri.
Beliau ini berusaha untuk mempersatukan di antara paham-paham itu, satu kali fatwanya sama dengan Mu’tazilah, satu kali sama dengan Jabariyah, satu kali sama dengan Ahlussunnah satu kali sama dengan Syi’ah, satu kali sama dengan Marjiah.
Paham Najariyah ini agak serupa dengan paham Bahaiyah yang pada mulanya ia syi’ah tetapi kemudian berusaha mempersatukan seluruh agama di dunia.
Madzhab Najariyah ini padamulanya agak berkembang juga sehingga mereka kemudian terbagi atas 3a aliran, yaitu aliran Margatsiyah, aliran Za’faraniyah dan aliran Mustadrikah, dibangsakan kepada ulamanya masing-masing.
Tetapi fatwa Najariyah ini akhirnya hilang lenyap dihanyutkan zaman karena tidak mendapat banyak pengikut. Sekarang hamper tak kedengaran lagi kaum Najariyah ini, kecuali hanya tersebut dalam buku-buku usuluddin dan buku-buku sejarah.

Aqidah kaum Najjariyah :
Allah tidak mempunyai sifat.
Al-Qur’an adalah makhluk dan tidak qadim.
Orang mukmin yang berdosa pasti masuk neraka.
Tuhan tidak bisa di lihat di akhirat.

8. FAHAM MUSYABIHAH
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan Makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Tuhan Allah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Ada juga yang menanamakan kaum ini dengan “kaum Mujassimah” yakni kaum yang menubuhkan, karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatahakan Tuhan bertubuh yang terdiri dari darah daging, bermuka, bermata, bertangan, berkaki, dan bahkan ada yang mengatakan, bahwa Tuhan itu berkelamin dan kelaminnya itu laki-laki. (lihat Syarah Nahjul Balagah Juz III, hal. 225).
Ada juga yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah’. Yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina-dina. Jadi mereka itu adalah kaum omong kosong.
Kebanyakan kaum Musyabbiliah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut madzhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hambal tidak berkeyakinan dan tidak beri’itiqad sebagai mana mereka.
Aqidah kaum Musyabbihah :
Tuhan berjisim serupa makhluk.
Tuhan melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan sebagainya.
Tuhan berada di atas langit, duduk di atas Arasy, dan berbentuk Nur


9.  FAHAM IBNU TAIMIYAH/SALAFIYAH
Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pancinta ilmu dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai pengganti untuk tugas-tugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibn Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini menjadikan dia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya. Dari sini, Ibn Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit. Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi konsensus (ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih Waliyyuddin al-‘Iraqi, sebagi berikut: “Ia (Ibn Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furu’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan ulama -sebagai Ijma’- di atasnya”.
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”[ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah].
Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama Allah. Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Bagi Ibn Taimiyah yang baharu itu hanya materi-meteri (al-Maddah) alam ini saja.  Dalam hal ini, Ibn Taimiayh telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya. Ibn Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya. Dua faham ini sama-sama sebagai suatu kekufuran dengan kesepakatan (ijma’) para ulama, sebagaimana ijma’ ini telah dinyatakan di antaranya oleh al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Bi Syarh Jama’ al-Jawami’. Karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.
            Faham ekstrim lainnya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah, memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki ukuran persis sebesar ‘arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil. Faham sesat lainnya, ia mengatakan bahwa seluruh para nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara (ma’shum). Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan (al-Jah), dan tawassul dengan Jah nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat pada perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah sendiri.
            Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar. Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya. Dan untuk “keras kepalannya” ini, Ibn Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan hingga ia mati di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibn Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu, hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibn Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.
            Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutbi dalam karyanya berjudul ‘Uyun at-Tawarikh. Bahkan di masa itu, Sultan Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbar-mimbar mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat, yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H.

Aqidah kaum salafiyah/ibnu tamiyah :
Tuhan duduk di atas Arasy.
Berdo’a dengan tawassul adalah haram.
Mendirikan kubah di atas kuburan Nabi adalah haram.
Ahli filsafat dan ahli tasawwuf adalah sesat.
Pergi ziarah kubur para shalih termasuk ke makam Nabi saw. Adalah musyrik.
Thariqat sufiyah adalah bid’ah dhalalah dan haram.

10. FAHAM WAHABI.
Didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar'iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M. Mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, "Kitabut'Tauhid".
Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan sebutan kaum Al-Muwahhidun (para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah yang pengesa Allah secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-kelompok lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik, bid'ah dan khurafat yang sesat
Setelah Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah dalam khotbah Jumat di Uyaynah tsb, ia mulai melakukan :
terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya :melakukan bid'ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.
meletakkan teologi ultrapuritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin
menolak berbagai tafsir Al-Qur'ân yang dianggapnya mengandung bid'ah atau inovasi.
Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan dengan cara yang brutal.
Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan kaum ahlusunnah sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi'in dan Tabi' Tabi'in.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar'iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa'ud, masih di Najd.
Disini Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar'iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik. Mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab.
Penakklukan dan pembantaian dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat yg lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, (mulai sejak tahun 1932 hingga kini).
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi'ah di kota Karbala' (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: "Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah.Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala". Muhammad Finati, seorang muallaf  Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : "Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian”.
Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, “yang halal darahnya”. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum `mujahid' yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum `kafir' termasuk wanita dan anakanak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri putrid mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang).
Hanya sedikit yang dapat melarikan diri. Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha'if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan ulama diseret dari rumahrumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh.
Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, `Confession of a British Spy'.
Hampher adalah seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia
Wahaby menganggap mazhab lain sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadist:"Kullu bid'ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar". (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata "bid'ah" yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk `kafir',
Aqidah kaum Wahabi :
Membuat cangkup di atas makam hukumnya haram.
Membaca sejarah maulid Nabi saw. Hukumnya haram.
Membaca dalailul khairat dan syair Budrah serta qasidah-qasidah hukumnya haram.
Tidak boleh melagukan adzan dan Al-Qur’an.
Ziarah ke makam nabi hukumnya haram.
Berdo’a dengan tawassul hukumnya musyrik.
Menghisap rokok haram.

11. FAHAM BAHAIYAH
Kepercayaan Bahaiyah timbul dalam kalangan kaum Syi’ah Imamiyah di Iran abad ke XIX.
Ada seorang Syi’ah namanya Mirza Muhammad ( meninggal tahun 1853 M.). ia mendakwaan dirinya “Al Bab”. Arti al Bab ialah “pintu”. Dalam istilah kaum Syi’ah, pintu ialah pintu yang menghubungkan manusia dengan “imam yang lenyap” yang akan keluar akhir zaman.
Jadi, Mirza Ali Muhammad mendakwakan dirinya bahwa ialah yang menjadi pintu bagi kaum Syi’ah atau bagi seluruh umat islam yang akan menghubungkan mereka dengan Imam yang lenyap yang ditunggu kedatangannya pada akhir zaman. Perkataan “al Bab” diambil dari sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya : “akulah kota ilmu dan Ali pintunya”.
Jadi pinntu yang sebenarnya adalah ‘Ali, menurut paham Syi’ah. Lantas Mirza Ali Muhammad yang dilahirkan di Sirazi, (Persia) menda’wakan dirinya “al Bab”, dan pengajarannya dinamainya “Babbiyah”. Didakwakannya bahwa ia selain Imam Mahdi yang ditunggu (oleh kaum Syi’ah) juga adalah sebagai Khalifah daari Musa, Isa dan Muhammad Saw.
Kelanjutan dari dakwanya ini ia menerangkan bahwa agama yang tiga semuanya benar, semuanya datang dari Allah. Karena itu ketiganya harus disatukan, tidak ada Yahudi, tidak ada Nasrani dan tidak ada Islam. Yang ada ialah Dinullah (agama tuhan).
Ia menyeru manusia memeluk agama innternasional. Fatwanya itu menimbulkan heboh di Iran, sehingga Mirza Ali Muhammad ini ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Syah di Tibriz pada tahun 1853 M.
Sesudah itu murid dan penganut paham. Mirza Ali Muhammad ini cerai-berai, berserakan lari puntang-panting, ada yang ke Istambul, ke Adernah, ke Cyrus dank e ‘Aka di Palestina.
Murid-muridnya yang cerai-berai itu terus mengembangkan paham Mirza Ali Muhammad di mana mereka menetap, sehingga tersiar jugalah pengajiannya di sekitar Palestina dan Turki, yang disebut dengan “Madzhab Babiyah”
Diantara penganut paham Babiyah ini ada seorang yang bernama Mirza Husein ‘Ali Babaullah di ‘Aka Palestina (lahir 1817 M. dan meninggal 1892 M.). ia mendakwakan dirinya wakil dari Mirza Ali Muhammad al Bab. Ia mengembangkan ajarannya di ‘Aka sampai akhir umurnya.
Wakil atau Khalifah Mirza ‘Ali Muhammad itu, yang bernama Mirza Husein ‘Ali Babaullah menyempurnakan pelajaran al Bab dan bahkan menukar nama Madzhabnya dengan Bahaiyah, dibangsakan kepada dirinya sendiri yang bernama Bahaullah.
Sesudah Mirza Husein ‘Ali meninggal tahun 1892 M, maka ajarannya diperluas oleh anaknya bernama Abdul Baha’, dan anaknya ini berjasa mengembangkan paham Bahaiyah ke Eropa dari Amerika sehingga sekarang paham Bahaiyah agak terdengar digelanggang internasional.
Aqidah paham Bahaiyah antara lain :
Islam, Kristen, Yahudi harus disatukan karena sama-sama dari Tuhan.
Menghapus segala keterikatan dalam Islam.
Menghapus kewajiban shalat jama’ah.
Faham wihdatul wujud adalah faham yang dibenarkannya.
Rasulallah adalan manifestasi Tuhan.
Menghapus iddah, melarang perceraian dan poligami.
Shalat tidak perlu menghadap kiblat.
8. tidak percaya adanya akhirat dan kiamat.

12. FAHAM AHMADIAYAH.
Ada satu golongan yang muncul di Qadiyan, India (sekarnag daerag Pakistan), bernama Golongan Ahmadiyah, atau katakanlah kaum Ahmadiyah.
Pendiri dari golongan ini bernama Mirza Gulam Ahmad. Ia dilahirkan di Qadariyan di sebuah desa daerah Punjab yang sekarag di bawah lingkungan daerah Pakistan, pada tahun 1836 M yaitu 131 tahun yang lalu dan meninggal di situ juga pada tahun 1908.
Kalau disbanding dengan Mirza ‘Ali Muhammad pembangun paham Bahaiyah maka Gulam Ahmad terkemudian lk. 55 tahun dihitung hari meninggalnya masing-masing. Tempat kelahiran juga berbeda, tetapi keduanya lahir ditengah-tengah kaum Syi’ah. Karena itu antara dua paham ini banyak persamaannya, di samping ada pula perbedaannya.
Setelah usia 45 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza Gulam Ahmad mendakwakan, bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw., dan pula Nabi yang terakhir. Bukan saja Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang ditunggu, Mujadid dan Juru Selamat.
Sudah terang, bahwa Mirza Gulam Ahamad ini termakan pengajara Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi yang ‘ad 1, yang akan membawa keadilan untuk seluruh dunia. Yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan.
Tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi Muhammad bertentangan pula dengan ajaran kaum Syi’ah. Karena itu Mirza Gulam Ahmad bukan saja ditentang oleh kaum ahhlussunnah wal jama’ah di seluruh dunia, tetapi juga oleh ulama-ulama Syi’ah yang berada di Pakistan, Iran dan Yaman.
Ulama di seluruh India pada ketika itu mengeluarkan fatwa bahwa Mirza Gulam Ahmad tidak lagi dalam lingkungan umat islam karena ia mendakwakan dirinya jadi Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Yang menentang sebuah ayat dalam Al-Qur’an suci yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi paling akhir.
Akan tetapi, kerajaan Inggris yang menguasai aiandia menyokong gerakan Ahmadiyah ini, karena di antara fatwanya ada yang sangat disukai oleh penjajah yaitu : jihat dalam islam itu bukan dengan senjata, tetapi hanya dengan lisan saja.
Di Indonesia paham Ahmadiiyah ini masuk sesudah perang dunia pertama, tetapi paham Ahmadiyah di Indonesia tidak begitu maju karena terus menerus di tentang oleh ulama islam khususnya ulama-ulama kaum Ahlussunnah Wal jama’ah.

Aqidah paham Ahmadiyah :
Nabi terakhir ialah Mirza Ghulam Ahmad.
Mirza Ghulam Ahmad merupakan manifestasi Isa Al-Masih yang dijanjikan turun ke dunia.
Syari’at Islam yang dibawa Muhammad belum sempurna dan disempurnakan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Ibadah haji tidak ke Mekah tetapi ke Kuhab putih di Qadiyam Pakistan.
 BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam. Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak hanya NU. Bisa saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengan konsep ASWAJA.
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.


DAFTAR PUSTAKA

DRS. RS. Abdul Aziz, Konsepsi Ahlussunnah Wal-Jamaah, CV. Bahagia, Batang Pekalongan, 1995
K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006
KH.Abdul Karim Joyodipuro,M.Pd.I, Rekontruksi Aswaja Sebagai Pilar Masa Depan Bangsa, Al Mubarok, Magetan, 2007
http://ryan-wanitasholehah.blogspot.co.id/2011/07/aswaja-dan-firqoh-lain  di akses pada 20/09/2016 pukul 22.37 WIB.
http://acehislamiccentre.blogspot.co.id/2011/06/para-ulama-memerangi-faham-sesat-ibnu.html  diakses pada 21/09/2016 pukul 21.44 WIB.
http://pahamwahabi.blogspot.co.id/ di akses pada 21/09/12 pukul 21.37 WIB.

Senin, 26 September 2016

Islam Masa Umayyah

BAB VII
ISLAM MASA DAULAT BANI UMAYYAH
=====================================================================
A. Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41
H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin
Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai
Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya
mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya
Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di
Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman
Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi
bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi
dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut
dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai
pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki
yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan
Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan
Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu
kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan
pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam
rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282).
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh
Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah
Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah
menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang
diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan
Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah)
banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah
semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah
tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi
Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan
baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara
keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun
penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai
basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah
mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan
Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang
berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber
kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan(Mufrodi,1997:70).
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah,
karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia
juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena
dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem
monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak
kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan.
Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya.
Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq,
Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai
bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi
komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas
pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
B. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis
rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor
keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan
mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman
dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri
secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada
tekanan dan intimidasi
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi
monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan
interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah”
dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan
mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa
keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang
menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu
penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi
mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah
adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak
sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akantetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah
yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah
berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan
Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik
dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan
oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan
berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan
Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali
ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah
Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi,
1984:167).
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan
empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yang
dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh
kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin
Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai
Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota
Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu
ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh
tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan
kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya,
Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun
pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan)
kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada
tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di
Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai
Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat
Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan
dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang
sejarah Islam, yaitu :
a. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b. Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah.
c. Penggempuran terhadap baiat Allah.
d. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan
pelayan rumah tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa
pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23
tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis
dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab
sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil
memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan
berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah
yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid.
Selama masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan
sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18
hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada
tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan
dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap
dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga
pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik
Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya.
Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya￾karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21
tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif
Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu
peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat
daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga
sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan
panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova,
Granada dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan
pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuranrakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah
Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang
kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar dirinya. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin
Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan
wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople
gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah
menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan
agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil
dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur
rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu
ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan
meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah
perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan
dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin
hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada penganut agama lain
untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan.
Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.
Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat.
Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun,
dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya
hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau.
Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid.
Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran
Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani
Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia
terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya
muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani
Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golonganmawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan
Dinasti baru, Bani Abbas.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk
pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar
kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga
Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan
kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah
penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah￾Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin
mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia
berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci
padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn
Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan
orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan
anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing￾masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus
yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2
bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena
perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya
penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama
16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam
lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin
kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar
berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan
dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia
memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa
pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani
Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya.
Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun
Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu
mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir,
dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dariAbdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan
demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh
Bani Abbasiyah.
E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara
bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki
kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam)
dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin,
1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan
dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras
dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan
gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para
kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal
hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta
dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk
Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas
dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin
Arab.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya
lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya
“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk
memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang
pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).
Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama
sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak
pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun
berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan
penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka
digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik,
diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini
berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal
Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam
antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus
yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah
genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik
ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164).
2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar
rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah
kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah
Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
· Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
· Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
· Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan.
· Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
· Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy, 1993:82).
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara lain bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk
(kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini
menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat
buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
· Diwanul Kharrraj,
· Diwanul Rasaail,
· Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
· Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat pnting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian
diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk
lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di
zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
· Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu
itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu
para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
· Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan cepat.
· An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172). Selain iitu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai
pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut
orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat,
administrator, dokter dan kesatuan dalam militer (Pulungan, 1997:166). Hal ini terjadi
sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya.
Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang
non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka
rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan
daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan
tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi
pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang
telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar
Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah
berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan
dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby, 1971:139).
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani
Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin.
Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan
Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai
ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61).
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik.
Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat
ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan.
Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo
yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova (Hasan, 1967:91).
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di
luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di
Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah
adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk
menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik, yang
menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah
lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu
daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa
Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani
Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan
terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut
tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian
menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara,
ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua
menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi,
1997:80).
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan
wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk
mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut
sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab
hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus
memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26).
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat
dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil
memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan
memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi, 1997:76).
Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi
negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah
ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam.
Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah
adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak
sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya (Yatim,
2003:44).
F. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan
seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu
mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana
masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat.
Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal
dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya yang bernama Abu Qarra.
Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu
lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al￾Farazdak.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah,
masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah,
Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan,
Kordoba, Granada dan lain-lainnya (Hasjmy, 1993:183).
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
· Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul
Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
· Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam,
seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman
Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah
dan amsaal.
Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum
dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai
minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa
tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.
Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari
dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha
untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan
segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh
orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu:
Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman
bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi (Hasjmy, 1993:183).
G. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak mampu
menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
(Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani Umayyah
persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung
kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170)2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status
tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab
yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama
Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara
mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannnya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas
wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik,
tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat
menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan
oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
Umayyah.
6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah
tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan
terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi
yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al￾Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan
kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini
menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim,
2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
H. Catatan Simpul
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan
yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan).
Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak
dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin
sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah
Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya.
Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh
Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti ini
dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn
Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn
Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul Malik,Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III), Ibrahim ibn Malik dan
Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi
yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga
kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah
yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga
berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya
mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli,
yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan
pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber
pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka
mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk
mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala
cabang-cabangnya.