MAKALAH
AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DAN FIRQOH-FIRQOH LAINNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja
Dosen pengampu: Abdul khalim, M.Pd.I
Disusun Oleh :
istiqomah
Yolanda Fifiana Dwi Mukti
Nurul Hidayati
Zulfia
INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI
FAKULTAS TARBIYAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas kuliah Aswaja. Kami sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Aswaja, Abdul khalim, M.Pd.I. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..……...........................................................….…............ i
DAFTAR ISI………………….......……………………………............................. ii
BAB I……………………………………………………………….…......…….... 1
PENDAHULUAN……………………………………………………..….....…… 1
LATAR BELANGKANG……………………………………….......…… 1
RUMUSAN MASALAH………………………………………….......…. 1
TUJUAN PENULISAN…………………………………………….......…2
MANFAAT PENULISAN……………………………………………......2
BAB II………………………………………………………………………..…....3
PEMBAHASAN…………………………………………………………….......…3
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)……………………........3
FIRQOH-FIRQOH LAINNYA……………………………………….....…7
MU’TAZILAH……………………………………………………..7
KHAWARIJ……………………………………………………......9
MURJI’AH…………………………………………………….......10
SYI’AH……………………………………………………….........12
JABARIYAH……………………………………………………....14
QODARIYAH………………………………………………....…...15
NAJARIYAH………………………………………………….…...17
MUSYABIHAH…………………………………………………....17
SALAFIYAH……………………………………………………....18
WAHABI…………………………………………………………..21
BAHAIYAH………………………………………………….........24
AHMADIYAH………………………………………………….....26
BAB III………………………………………………………………………….....28
PENUTUP……………………………………………………………………....…28
KESIMPULAN………………………………………………………........28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...29
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ahlussunnah Waljama’ah berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata ahlun (keluarga/golongan) sunnah (perkataan, perbuatan, jalan, tabi’at, perilaku kehidupan) jama’ah (sekumpulan). Jadi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tiqad yang di anut oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabat beliau.
Di era modern ini banyak bermunculan aliran dan faham yang berbeda satu sama lain. Tiap-tiap faham mengklaim alirannyalah yang paling benar sementara aliran yang lain salah. Perbedaan dan perpecahan umat islam menjadi beberapa aliran ini telah menjadi Sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Dalam beberapa hadist yang benyak diriwayatkan para ahli hadist Rosulullah saw telah menjelaskan bahwa akan terjadinya perpecahan.
Pada zaman Rosulullah saw memang tidak pernah ada perpecahan diantara sahabat. Namun sebagai mukjizat, beliau telah mengetahui akan terjadinya perpecahan pada umatnya setelah beliau wafaat. Rosul juga telah menjelaskan bahwa di antara golongan (firqoh) yang akan bermunculan kelak, hanya satu golongan yang akan selamat yaitu Ahlussunnah Waljama’ah (orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran rosul dan para sahabat). Faktanya sekarang ini aliran yang muncul, semuanya mengaku atau mengklaim bahwa kelompoknyalah yang pantas di sebut Ahlussunnah Waljama’ah sedangkan kelompok lain sesat.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri golongan yang di janjikan Rosulullah agar kita selamat. Atas dasar inilah, kami membuat makalah ini dan membahas tentang Ahlussunnah Waljama’ah dan firqoh-firqoh lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah Ahlussunah Wal Jama’ah?
Apa sajakah firqoh-firqoh selain Ahlussunnah Wal Jama’ah?
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui tentang Ahlussunah Wal Jama’ah.
Untuk mengetahui Ahlussunah Wal Jama’ah dan Firqoh-firqoh lainnya.
D. MANFAAT PENULISAN
Membantu mahasiswa memahami dan mendalami pokok bahasan khususnya tentang Ahlussunah Wal Jama’ah.
Memberikan informasi mendalam kepada mahasiswa tentang pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, sejarah singkat Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan Firqoh-firqoh lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PENGERTIAN ASWAJA
Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata yaitu ; Ahlun , As Sunah dan Al Jama’ah. Kata (Ahlun) berarti keluarga, golongan atau pengikut. Kata (As Sunnah) berarti Sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kata (Al Jama’ah) berarti kumpulan atau kelompok para Sahabat Nabi SAW (Jamaatus Shohabat).
Dari pengertian ketiga kata tersebut, maka yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok (golongan) yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rosul dan thoriqohnya Sahabat nabi yang tercermin dari semua aspek kehidupan yang meliputi : i’tiqod diniyah, amal badaniyyah dan akhlaq qolbiyah.
Sebenarnya istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ajaran sudah dikenal dan ada sejak Nabi Muhammad SAW, istilah tersebut mengandung arti ajaran islam yang murni sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama para Sahabatnya. Namun sesudah masa Sahabat Nabi SAW, Istilah (nama) Ahlussunnah Wal Jama’ah muncul dalam bentuk Firqoh (kelompok tertentu) untuk membedakan dari golongan-golongan ahli bid’ah seperti Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain.
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam bentuk Firqoh ini, muncul sekitar periode 300 Hijriyah yang dipelopori oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari yang mengikuti madzab imam Syafi’i dan Syekh Abu Mansur al Maturidi yang mengikuti madzab Imam abu Hanifah. Keduanya (Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi) telah mendapat dukungan dan pengakuan dari para pengikut imam empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal).
Dalam kitab Syarah Kawakibul Lama’ah, Syekh Abi Fadhol menjelaskan : Disaat perpecahan banyak terjadi (banyak bermuncualn aliran-aliran sesat) terlahirlah nama Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk mereka yang selalu konsisten menjalankan Sunnah-sunnah Nabi SAW dan para Sahabatnya dalam aqidah, amal badaniyah dan juga akhlaq qolbiyah.
Dengan demikian pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah ( dalam bentuk firqoh ) ini adalah nama yang khusus diperuntukkan bagi golongan yang aqidahnya selaras dengan Asy’ariyyah dan Al Maturidiyah. Hal ini berlaku hingga zaman sekarang ini. Hal ini senada dengan keterangan Al Alamah Syayyid Muhammad bin Muhammad Al Hasani (Syehk Zabidi) dalam Syarahnya kitab Ihya Ulumuddin :
“Apabila disebut kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (paham) Asyari dan paham Abu Mansur al Maturidi”
karena, Sepeninggalan Rosul dan para sahabatnya,disaat banyaknya aliran sesat bermunculan, kedua kelompok inilah (‘Al as’ariyyah dan Al Maturidiyyah’) yang selalu konsisten menjalankan sunnah-sunnah Rosul dan para Sahabat. Di samping itu kedua imam tersebut ( Syekh Abu Hasan al Asy’ari da Syekh Abu Mansur al Maturidi ) berusaha menggali aqidah islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, yakni Aqidah Islam yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada para sahabat, lalu kemudian diwariskan kepada Tabiin, Tabiit Tabiin dan para Ulama’ Salafus Solihin.
SEJARAH LAHIRNYA ASWAJA
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an hadits) daripada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifat.
Ajaran-ajaran Aswaja
Seseorang atau golongan bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah jika :
Dalam Aqidah mengikuti / selaras dengan teologi Al As’ari dan Al Maturidi.
Dalam Furu’ (Fiqh) mengikuti salah satu imam madzab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali).
Dalam bidang Ahlaq (Tasawuf) selaras dengan ajaran Imam Al Gozali dan al Junaidi al Bagdadi.
Pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :
Meyakini Wujudnya Allah.
Meyakini bahwa Allah Maha Esa (baik dzat, sifat maupun perbuatannya).
Meyakini terhadap sifat-sifat Allah (sifat wajib 20, sifat mustahil 20, sifat jaiz 1).
Meyakini kehudusan ( baru datangnya ) alam semesta.
Meyakini tentang keadilan dan hikmah Allah swt.
Meyakini tidak ada kemiripan ( keserupaan ) Allah dengan apapun.
Meyakini bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat ( Surga ), dengan mata kepala secara langsung, namun tidak diketahui caranya ( bila kaifin ).
Allah tidak wajib berbuat baik pada Makluk.
Allah adalah pencipta jagat raya ini, yang punya kehendak mutlak untuk melakukan apa saja pada mahluknya, tanpa ada keterpaksaan.
Meyakini kenabiyan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk semua umat (Kaffah).
Meyakini kebenaran semua perkara yang dibawa Rosul diantaranya ; Surga, Neraka, Wot Sirothol Mustaqim, Ars, kursi, Telaga Kausar, Bangkit dari kubur dan lain-lain.
Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, yang tidak akan mungkin ada Nabi setelahnya ( La Nabiya Ba’dahu ).
Meyakini bahwa Syareatnya Nabi Muhammad SAW akan langgeng sampai hari kiyamat tiba.
Meyakini bahwa orang Mu’min ketika melakukan dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka urusannya diserahkan pada Allah, mungkin diampuni atau akan disiksa dan dimasukkan ke neraka, namun ia tidak kekal di neraka. Dan ia termasuk golongan Orang Mu’min yang melakukan ma’siyat ( Mu’min Al Ashi).
Meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang Qodim (dahulu tanpa permulaan ).
Meyakini bahwa Al Qur’an dan Al Hadist harus didahulukan ( diatas ) akal manusia dan bukan sebaliknya.
Perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditakdirkan Allah, akan tetapi manusia diwajibkan melakukan ihtiyar memilih hal yang baik sebab dirinya telah diberi fasilitas akal.
Meyakini bahwa hari kiyamat ( hancurnya jagat raya ) pasti akan terjadi.
Meyakini bahwa anak kecil yang meninggal dunia sebelum usia balig meski anak orang kafir akan masuk surga.
Aqidah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut Al-Asy’ari yakni meliputi 6 perkara yang lebih dikenal sebagai rukun iman. Yaitu:
Masalah ketuhanan
Masalah Malaikat-malaikat
Masalah Kitab-Kitab Allah
Masalah Rasul-rasul Allah
Masalah Hari akhir
Masalah Qada’ dan Qadar.
B. FIRQOH-FIRQOH LAINNYA
1. FAHAM MU’TAZILAH
Definisi Mu’tazilah
Secara Etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab “Pitizal” artinya kesendirian, kelemahan dan keterputusan, menyisihkan diri.kaum Mu’tazillah berarti kaum yang menyisihkan diri.
Secara Terminologi, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
Golongan ini dinamakan Mu’tazilah, karena Washil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena perbedaan pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.
Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka maka, sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar.
Kesesatan Mu’tazilah
Di antara Kesesatan kaum Mu’tazilah :
Mentiadakan sifat-sifat Allah yang Qodim seperti ; Sifat Ilmu, Kudrot, Hayat dan lain-lain. Dan mereka meyakini bahwa Allah maha mengetahui, hidup, berkuasa semata-mata dengan dzat-Nya dan bukan dengan sifat.
Meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk yang berupa huruf dan suara.
Meyakini bahwa kelak di akhirat, Allah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Mewajibkan penta’wilan terhadap Ayat-Ayat Mustasyabihat (ayat yang belum jelas dilalahnya).
Meyakini bahwa segala perbuatan manusia berasal dari dirinya sendiri (baik atau buruk). Oleh karenanya di akhirat ia wajib mendapat pahala atau siksa akibat perbuatan tersebut.
Allah Wajib berbuat baik terhadap mahluknya, sebab jika tidak demikian maka berarti Allah telah berbuat dholim.
Meyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar yang meninggal sebelum bertaubat maka ia akan selama-lamanya ( hulud ) di neraka.
Mengingkari adanya siksa kubur.
Meyakini adanya tempat diantara Surga dan Neraka ( Manzilun Bainal Manzilataini ).
Dasar-dasar pokok Mu’tazilah berkisar pada 5 soal yaitu:
Tauhid (ke Esaan Tuhan)
Al ‘Adl (keadilan Tuhan)
Al Wa’du wal wa’du ( janji baik dan buruk)
Manzilah bainal manzilatein (tempat di antara dua tempat)
Amar ma’ruf dan nahi munkar
2. FAHAM KHOWARIJ
Definisi dan Sejarah Kemunculan Khowarij
Imam Syahrostani mendefinsikan khowarij sebagai, ”Semua kelompok masyarakat yang keluar daripada ketaatan kepada kepemimpinan (imam) yang sah dan yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam, baik pada masa kepemimpinan sahabat khulafaurrosyidin, tabi’in (pengikut sahabat), atau masa kepemimpinan umat Islam di setiap zaman.” (Syahrostani, Kitab Al Milal wan Nihal, 1/129).
Imam Ibnu Hazm menambahkan, “Setiap orang yang mendukung pikiran-pikiran mereka atau memiliki pikiran dan ideooogi seperti mereka juga disebut khowarij, kapanpun ia berada.” Jelas, khowarij tidak terbatas pada masa atau episode tertentu, tapi bisa jadi sepanjang sejarah anak Adam.
Mengenai awal kemunculan khowarij para pakar sejarah Islam berbeda pendapat, ada yang mengatakan, khowarij telah ada sejak zaman rasulullah saw yaitu si Dzul Khuwaisiroh yang tidak setuju terhadap pembagian ghonimah oleh rasulullah saw. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnul Jauziy dan Ibnu Hazm. Sebagian berpendapat, ia muncul pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Abil ‘Izz. Tetapi pendapat yang rojih adalah yang mengatakan kemunculan Khawarij pertama kali setelah peristiwa tahkim (dialog damai) sebagai upaya mencari jalan damai dalam mengakhiri peperangan Shiffin antara pihak Ali bin Abi Tholib ra, sebagai kholifah yang sah dengan pihak Mu’awwiyah ra.
Syaikh Muhammad Al Qursyi menyimpulkan pendapat para ulama mengenai sejarah khowarij, beliau berkata, “Dari sisi ide dan bibit pemikiran Khowarij telah muncul sejak zaman Nabi saw, yaitu pada kasus Dzul Khuwaishiroh. Jadi saat itu masih terbatas pada gejala pemikiran, belum berbentuk sebuah organisasi dan pergerakan. Khowarij menjelma menjadi organisasi pergerakan yang terpimpin baru muncul setelah peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awwiyah.” (Khowarij Aqidatan wat Tarikh, h. 2)
Kesesatan Khowarij
Di antara Kesesatan kelompok Khowarij :
Meyakini bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir , disamakan dengan kafirnya Iblis.
Meyakini bahwa seluruh sahabat yang setuju Tahkim ( penyelesaian dengan juru hukum ), dihukumi telah kafir sebab telah melakukan dosa besar. Sehingga mereka tidak mau menerima hadist-hadist yang diriwayatkan dari sahabat tersebut.
Menganggap kafir Sahabat Ali ra, Usman bin Affan, Tholhah, Zubair, Aisyah, Abdullah bin Abbas mereka telah menyetujui Tahkim.
Meyakini bahwa melakukan pemberontakan pada Imam ( Imam Ali Bin Abi Tholib ) yang melanggar Sunah hukumnya Wajib.
Memperbolehkan wujudnya Nabi meskipun akhirnya ia menjadi kafir di tengah-tengah masa kenabian.
Menafikan Hukum Ranjam bagi pelaku Zina Muhshon.
3. FAHAM MURJI’AH
Asal-Usul Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya diakhirat kelak.
Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Mazhab) para skeptis dan empirin dari kalangan Helenis.
Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam keadaan akidah tauhid.
4. FAHAM SYI’AH
Definisi Syi’ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Keyakinan Syiah
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan
I’tikad Syiah tentang kenabian ialah :
Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
Aqidah kaum syi’ah antara lain :
Ketiga sahabat sebelum Ali kw. Yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman, ketiganya itu terkutuk, karena merampas hak khalifah dari tangan Syayidina Ali k.w. imam yang pertama ialah Sayidina Ali k.w
Imam harus ditunjuk Nabi Muhammad saw. Dengan wasiat.
Khalifah Ali k.w. menerima wahyu dan ma’sum
Kitab kedua ialah Al-kafi karangan Al-Kulni.
Percaya adanya khalifah ghaib yang akan muncul di akhir zaman.
Mushaf yang sah ialah Mushaf Ali.
Arti ahli bai, ialah hanya keturunan Ali dengan Fathimah r.a.
Kaum syi’ah menganut faham wihdatul wujud (serba Tuhan).
Islam belum cukup ketika zaman Nabi, karena masih ada wahyu-wahyu Allah untuk Imam-imam Syi’ah.
Percaya kepada imam merupakan salah satu rukun Iman.
5. FAHAM JABARIYAH
Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’, artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan).
Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.
Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.
Pokok- pokok paham Jabariyah
Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya : “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.
6. FAHAM QODARIYAH
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar.
Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).
Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah.
Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.
Faham Qadariyah di antara I’tiqadnya adalah:
Manusia berkuasa penuh menciptakan amalnya, maka dalam amal perbuatan manusia tak ada campur tangan dari kekuasaan lain, termasuk tak ada campur tangan kekuasaan Tuhan.
Iman itu pengertian dan pengakuan, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah.
7. FAHAM NAJARIYAH
Pembangun madzhab Najariyah ini adalah seorang yang bernama Abu Abdillah Husein bin Muhammad an Najar.
Abu Abdillah an Najar ini hidup pada masa Khalifah al Ma’mun sekitar tahun 198 H sampai 218 H. ia pada mulanya murid seorang Mu’tazilah namananya Basyar al Marisi, tetapi kemudian ia menjadi bajing loncat, sekali menganut paham Mu’tazilah, besok paham Jabariyah, lusa mengnut paham Ahlussunnah dan akhirnya membuat Madzhab sendiri.
Beliau ini berusaha untuk mempersatukan di antara paham-paham itu, satu kali fatwanya sama dengan Mu’tazilah, satu kali sama dengan Jabariyah, satu kali sama dengan Ahlussunnah satu kali sama dengan Syi’ah, satu kali sama dengan Marjiah.
Paham Najariyah ini agak serupa dengan paham Bahaiyah yang pada mulanya ia syi’ah tetapi kemudian berusaha mempersatukan seluruh agama di dunia.
Madzhab Najariyah ini padamulanya agak berkembang juga sehingga mereka kemudian terbagi atas 3a aliran, yaitu aliran Margatsiyah, aliran Za’faraniyah dan aliran Mustadrikah, dibangsakan kepada ulamanya masing-masing.
Tetapi fatwa Najariyah ini akhirnya hilang lenyap dihanyutkan zaman karena tidak mendapat banyak pengikut. Sekarang hamper tak kedengaran lagi kaum Najariyah ini, kecuali hanya tersebut dalam buku-buku usuluddin dan buku-buku sejarah.
Aqidah kaum Najjariyah :
Allah tidak mempunyai sifat.
Al-Qur’an adalah makhluk dan tidak qadim.
Orang mukmin yang berdosa pasti masuk neraka.
Tuhan tidak bisa di lihat di akhirat.
8. FAHAM MUSYABIHAH
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan Makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Tuhan Allah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Ada juga yang menanamakan kaum ini dengan “kaum Mujassimah” yakni kaum yang menubuhkan, karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatahakan Tuhan bertubuh yang terdiri dari darah daging, bermuka, bermata, bertangan, berkaki, dan bahkan ada yang mengatakan, bahwa Tuhan itu berkelamin dan kelaminnya itu laki-laki. (lihat Syarah Nahjul Balagah Juz III, hal. 225).
Ada juga yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah’. Yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina-dina. Jadi mereka itu adalah kaum omong kosong.
Kebanyakan kaum Musyabbiliah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut madzhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hambal tidak berkeyakinan dan tidak beri’itiqad sebagai mana mereka.
Aqidah kaum Musyabbihah :
Tuhan berjisim serupa makhluk.
Tuhan melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan sebagainya.
Tuhan berada di atas langit, duduk di atas Arasy, dan berbentuk Nur
9. FAHAM IBNU TAIMIYAH/SALAFIYAH
Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pancinta ilmu dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai pengganti untuk tugas-tugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibn Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini menjadikan dia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya. Dari sini, Ibn Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit. Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi konsensus (ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih Waliyyuddin al-‘Iraqi, sebagi berikut: “Ia (Ibn Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furu’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan ulama -sebagai Ijma’- di atasnya”.
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”[ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah].
Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama Allah. Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Bagi Ibn Taimiyah yang baharu itu hanya materi-meteri (al-Maddah) alam ini saja. Dalam hal ini, Ibn Taimiayh telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya. Ibn Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya. Dua faham ini sama-sama sebagai suatu kekufuran dengan kesepakatan (ijma’) para ulama, sebagaimana ijma’ ini telah dinyatakan di antaranya oleh al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Bi Syarh Jama’ al-Jawami’. Karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.
Faham ekstrim lainnya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah, memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki ukuran persis sebesar ‘arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil. Faham sesat lainnya, ia mengatakan bahwa seluruh para nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara (ma’shum). Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan (al-Jah), dan tawassul dengan Jah nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat pada perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah sendiri.
Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar. Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya. Dan untuk “keras kepalannya” ini, Ibn Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan hingga ia mati di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibn Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu, hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibn Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.
Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutbi dalam karyanya berjudul ‘Uyun at-Tawarikh. Bahkan di masa itu, Sultan Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbar-mimbar mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat, yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H.
Aqidah kaum salafiyah/ibnu tamiyah :
Tuhan duduk di atas Arasy.
Berdo’a dengan tawassul adalah haram.
Mendirikan kubah di atas kuburan Nabi adalah haram.
Ahli filsafat dan ahli tasawwuf adalah sesat.
Pergi ziarah kubur para shalih termasuk ke makam Nabi saw. Adalah musyrik.
Thariqat sufiyah adalah bid’ah dhalalah dan haram.
10. FAHAM WAHABI.
Didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar'iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M. Mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, "Kitabut'Tauhid".
Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan sebutan kaum Al-Muwahhidun (para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah yang pengesa Allah secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-kelompok lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik, bid'ah dan khurafat yang sesat
Setelah Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah dalam khotbah Jumat di Uyaynah tsb, ia mulai melakukan :
terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya :melakukan bid'ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.
meletakkan teologi ultrapuritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin
menolak berbagai tafsir Al-Qur'ân yang dianggapnya mengandung bid'ah atau inovasi.
Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan dengan cara yang brutal.
Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan kaum ahlusunnah sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi'in dan Tabi' Tabi'in.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar'iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa'ud, masih di Najd.
Disini Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar'iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik. Mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab.
Penakklukan dan pembantaian dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat yg lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, (mulai sejak tahun 1932 hingga kini).
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi'ah di kota Karbala' (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: "Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah.Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala". Muhammad Finati, seorang muallaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : "Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian”.
Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, “yang halal darahnya”. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum `mujahid' yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum `kafir' termasuk wanita dan anakanak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri putrid mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang).
Hanya sedikit yang dapat melarikan diri. Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha'if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan ulama diseret dari rumahrumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh.
Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, `Confession of a British Spy'.
Hampher adalah seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia
Wahaby menganggap mazhab lain sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadist:"Kullu bid'ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar". (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata "bid'ah" yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk `kafir',
Aqidah kaum Wahabi :
Membuat cangkup di atas makam hukumnya haram.
Membaca sejarah maulid Nabi saw. Hukumnya haram.
Membaca dalailul khairat dan syair Budrah serta qasidah-qasidah hukumnya haram.
Tidak boleh melagukan adzan dan Al-Qur’an.
Ziarah ke makam nabi hukumnya haram.
Berdo’a dengan tawassul hukumnya musyrik.
Menghisap rokok haram.
11. FAHAM BAHAIYAH
Kepercayaan Bahaiyah timbul dalam kalangan kaum Syi’ah Imamiyah di Iran abad ke XIX.
Ada seorang Syi’ah namanya Mirza Muhammad ( meninggal tahun 1853 M.). ia mendakwaan dirinya “Al Bab”. Arti al Bab ialah “pintu”. Dalam istilah kaum Syi’ah, pintu ialah pintu yang menghubungkan manusia dengan “imam yang lenyap” yang akan keluar akhir zaman.
Jadi, Mirza Ali Muhammad mendakwakan dirinya bahwa ialah yang menjadi pintu bagi kaum Syi’ah atau bagi seluruh umat islam yang akan menghubungkan mereka dengan Imam yang lenyap yang ditunggu kedatangannya pada akhir zaman. Perkataan “al Bab” diambil dari sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya : “akulah kota ilmu dan Ali pintunya”.
Jadi pinntu yang sebenarnya adalah ‘Ali, menurut paham Syi’ah. Lantas Mirza Ali Muhammad yang dilahirkan di Sirazi, (Persia) menda’wakan dirinya “al Bab”, dan pengajarannya dinamainya “Babbiyah”. Didakwakannya bahwa ia selain Imam Mahdi yang ditunggu (oleh kaum Syi’ah) juga adalah sebagai Khalifah daari Musa, Isa dan Muhammad Saw.
Kelanjutan dari dakwanya ini ia menerangkan bahwa agama yang tiga semuanya benar, semuanya datang dari Allah. Karena itu ketiganya harus disatukan, tidak ada Yahudi, tidak ada Nasrani dan tidak ada Islam. Yang ada ialah Dinullah (agama tuhan).
Ia menyeru manusia memeluk agama innternasional. Fatwanya itu menimbulkan heboh di Iran, sehingga Mirza Ali Muhammad ini ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Syah di Tibriz pada tahun 1853 M.
Sesudah itu murid dan penganut paham. Mirza Ali Muhammad ini cerai-berai, berserakan lari puntang-panting, ada yang ke Istambul, ke Adernah, ke Cyrus dank e ‘Aka di Palestina.
Murid-muridnya yang cerai-berai itu terus mengembangkan paham Mirza Ali Muhammad di mana mereka menetap, sehingga tersiar jugalah pengajiannya di sekitar Palestina dan Turki, yang disebut dengan “Madzhab Babiyah”
Diantara penganut paham Babiyah ini ada seorang yang bernama Mirza Husein ‘Ali Babaullah di ‘Aka Palestina (lahir 1817 M. dan meninggal 1892 M.). ia mendakwakan dirinya wakil dari Mirza Ali Muhammad al Bab. Ia mengembangkan ajarannya di ‘Aka sampai akhir umurnya.
Wakil atau Khalifah Mirza ‘Ali Muhammad itu, yang bernama Mirza Husein ‘Ali Babaullah menyempurnakan pelajaran al Bab dan bahkan menukar nama Madzhabnya dengan Bahaiyah, dibangsakan kepada dirinya sendiri yang bernama Bahaullah.
Sesudah Mirza Husein ‘Ali meninggal tahun 1892 M, maka ajarannya diperluas oleh anaknya bernama Abdul Baha’, dan anaknya ini berjasa mengembangkan paham Bahaiyah ke Eropa dari Amerika sehingga sekarang paham Bahaiyah agak terdengar digelanggang internasional.
Aqidah paham Bahaiyah antara lain :
Islam, Kristen, Yahudi harus disatukan karena sama-sama dari Tuhan.
Menghapus segala keterikatan dalam Islam.
Menghapus kewajiban shalat jama’ah.
Faham wihdatul wujud adalah faham yang dibenarkannya.
Rasulallah adalan manifestasi Tuhan.
Menghapus iddah, melarang perceraian dan poligami.
Shalat tidak perlu menghadap kiblat.
8. tidak percaya adanya akhirat dan kiamat.
12. FAHAM AHMADIAYAH.
Ada satu golongan yang muncul di Qadiyan, India (sekarnag daerag Pakistan), bernama Golongan Ahmadiyah, atau katakanlah kaum Ahmadiyah.
Pendiri dari golongan ini bernama Mirza Gulam Ahmad. Ia dilahirkan di Qadariyan di sebuah desa daerah Punjab yang sekarag di bawah lingkungan daerah Pakistan, pada tahun 1836 M yaitu 131 tahun yang lalu dan meninggal di situ juga pada tahun 1908.
Kalau disbanding dengan Mirza ‘Ali Muhammad pembangun paham Bahaiyah maka Gulam Ahmad terkemudian lk. 55 tahun dihitung hari meninggalnya masing-masing. Tempat kelahiran juga berbeda, tetapi keduanya lahir ditengah-tengah kaum Syi’ah. Karena itu antara dua paham ini banyak persamaannya, di samping ada pula perbedaannya.
Setelah usia 45 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza Gulam Ahmad mendakwakan, bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw., dan pula Nabi yang terakhir. Bukan saja Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang ditunggu, Mujadid dan Juru Selamat.
Sudah terang, bahwa Mirza Gulam Ahamad ini termakan pengajara Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi yang ‘ad 1, yang akan membawa keadilan untuk seluruh dunia. Yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan.
Tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi Muhammad bertentangan pula dengan ajaran kaum Syi’ah. Karena itu Mirza Gulam Ahmad bukan saja ditentang oleh kaum ahhlussunnah wal jama’ah di seluruh dunia, tetapi juga oleh ulama-ulama Syi’ah yang berada di Pakistan, Iran dan Yaman.
Ulama di seluruh India pada ketika itu mengeluarkan fatwa bahwa Mirza Gulam Ahmad tidak lagi dalam lingkungan umat islam karena ia mendakwakan dirinya jadi Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Yang menentang sebuah ayat dalam Al-Qur’an suci yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi paling akhir.
Akan tetapi, kerajaan Inggris yang menguasai aiandia menyokong gerakan Ahmadiyah ini, karena di antara fatwanya ada yang sangat disukai oleh penjajah yaitu : jihat dalam islam itu bukan dengan senjata, tetapi hanya dengan lisan saja.
Di Indonesia paham Ahmadiiyah ini masuk sesudah perang dunia pertama, tetapi paham Ahmadiyah di Indonesia tidak begitu maju karena terus menerus di tentang oleh ulama islam khususnya ulama-ulama kaum Ahlussunnah Wal jama’ah.
Aqidah paham Ahmadiyah :
Nabi terakhir ialah Mirza Ghulam Ahmad.
Mirza Ghulam Ahmad merupakan manifestasi Isa Al-Masih yang dijanjikan turun ke dunia.
Syari’at Islam yang dibawa Muhammad belum sempurna dan disempurnakan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Ibadah haji tidak ke Mekah tetapi ke Kuhab putih di Qadiyam Pakistan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam. Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak hanya NU. Bisa saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengan konsep ASWAJA.
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
DRS. RS. Abdul Aziz, Konsepsi Ahlussunnah Wal-Jamaah, CV. Bahagia, Batang Pekalongan, 1995
K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006
KH.Abdul Karim Joyodipuro,M.Pd.I, Rekontruksi Aswaja Sebagai Pilar Masa Depan Bangsa, Al Mubarok, Magetan, 2007
http://ryan-wanitasholehah.blogspot.co.id/2011/07/aswaja-dan-firqoh-lain di akses pada 20/09/2016 pukul 22.37 WIB.
http://acehislamiccentre.blogspot.co.id/2011/06/para-ulama-memerangi-faham-sesat-ibnu.html diakses pada 21/09/2016 pukul 21.44 WIB.
http://pahamwahabi.blogspot.co.id/ di akses pada 21/09/12 pukul 21.37 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar